Dulu jamannya baru pindahan rumah dan jadi warga baru tanpa kenal keliling sekitar, ibu nyuruh buat kenalan sama anak-anak yang lagi main sama temen-temennya disekeliling rumah. "sana kenalan biar ada temen!" begitu katanya. Tapi gue masih tetep enggak berani untuk deketin mereka. Sampai akhirnya ibu nganter gue, nyodorin gue ke mereka seolah gue bagai barang sogokan "ini kenalan sama temennya, ajak main yaaa" kata ibu begitu ke mereka, terus ibu pergi balik lagi kerumah. Gue ditinggal sendirian. Diem. Ngeliatin mereka aja. Karena bingung alhasil gue ngekor mereka kesana kemari, cuma sekedar mengikuti kemana arah mereka tanpa suara yang keluar dari mulut dan cuma diem aja. Lalu kenalan sampai akhirnya pun jadi main bareng dan sampai lama jadi kebiasaan buat main bareng terus terusan.
Umur semakin menambah, kualitas anak baru gede gue semakin menjadi. Keinginan buat menghabiskan waktu lebih banyak bareng teman-teman semakin meningkat dengan tujuan supaya ada kerjaan dan supaya perasaan jadi senang. Enggak dipungkiri, main bareng temen-temen itu bisa bikin senang. Semakin naik lagi umur, gue Sma, disitulah gairah untuk bermain semakin meningkat. Gaya hidup nongkrong disering-seringkan karena kebawa sama peradaban kalangan anak masa kini yang ditenarkan melalu media sosial. Nongkrong cuma pergi ke suatu cafe, cafe biasa yang penting menjual makanan dengan kualitas harga murah. Makanan enak menjadi satu pegangan untuk nongkrong menghabiskan waktu malam sampai jelang tidur. Itu terjadi saat remaja. Sebahagia itu rasanya. Enggak nongkrong aja, kerumah teman juga pula. Banyak waktu dibuang hanya untuk teman-teman tercinta dengan tujuan menghabiskan waktu dan supaya gue merasa bahagia.
Menjelang kepala dua, teman satu persatu menghilang. Bukan ditelan bumi. Ada yang menikah dan sibuk sama urusan rumah tangga, ada yang sibuk mencari uang, ada yang sibuk sama dunianya. Mau meminta sedikit waktu dari teman rasanya susah. Ada yang diajak bertemu tapi justru lebih memilih pertemuan dia dengan kekasihnya. Sakit. Ada yang diajak bertemu tapi menolak dengan sejuta alasan. Perih. Pingin bahagia tapi bingung karena gak ada obyek supaya bisa bahagia. Memang teman obat paling ampuh untuk jadi amnesia sesaat tanpa beban hidup. Jadinya, menghabiskan waktu dipakai dengan teman yang memang satu bidang kala itu. Teman yang masih proses adaptasi bukan dengan sahabat-sahabat yang dulunya selalu bersua bersama kala malam hari hingga jam tidur dimulai.
Hingga kini dunia semakin terlihat bahwa seisinya itu adalah suatu politik. Melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan sesuai apa yang diinginkannya. Teman mendekati, teman membina obrolan baik, teman merangkul, teman memeluk, teman berjabat, kini semuanya sudah ada artinya. Bukan semata wayang tujuan tulus. Mendekati supaya bisa membantu koneksi, mendekati supaya bisa bertemu karena dilanda galau dan butuh pertolongan obat amnesianya, mendekati karena ada yang ingin dicari tahu, mendekati karena bisa membantu dari apa yang dibutuhkan si pendekat.
Rasa polos yang dirasa waktu kecil mendekati teman dengan tujuan 'supaya punya teman' kini sudah bukan itu lagi alasannya. Melainkan mencari teman untuk 'jaringan koneksi yang bisa membantu', ya dunia semakin berpolitik. Bila memang laksana tak bisa membantu, tak diperlukan kembali, dijauhkanlah, disudahkanlah karena memang tak bermutu untuk dijalin tali silaturahminya. Sudah kodrat seperti ini mungkin? Lalu kepada siapa dapat menyandarkan kebahagiaan hidup? Cukup dengan bersyukur tak berharap atas apapun terlebih harapan pada teman seperti harapan masa kecil dulu. Bersyukur hanya sedikit saja dosisnya tapi efek nya jangka panjang.
Cukup bersyukur tanpa meminta lebih atau mengandalkan teman menjadi sandaran. Selain daripada teman adalah obat paling ampuh untuk melupa beban hidup, puncaknya teman juga alkohol kecewa yang dirasa paling perih. Cukup. Tak perlu berharap lebih. Karena sakit rasanya.
So, what is friends for?